Benua dalam Kalender
Memori paling awal saya tentang Eropa adalah foto-foto indah di kalender di ruang depan rumah joglo kami di satu desa Jepara, di Jawa Tengah beberapa dekade lalu. Masih lekat dalam ingatan foto pemandangan bukit yang hijau, domba dan sapi di ladang pertanian, langit yang biru, dan rumah-rumah bercerobong dengan asap tipis membumbung ke angkasa, atau kota dengan gedung-gedungnya yang klasik.
Saya tak pernah membayangkan bahwa suatu saat saya akan menjejakkan kaki di benua ini. Saya tahu diri. Saya hanya anak kampung yang ke sekolah saja tak memakai sepatu. Perjalanan paling jauh adalah ke ibu kota provinsi, Semarang, itu pun karena kakek bekerja di stasiun kereta di ibu kota provinsi dan karenanya punya kemewahan untuk naik kendaraan umum dari kampung menuju kota. Sesekali, kakek mengajak saya ke kantornya. Di sinilah saya meninggalkan kampung dan memasuki hiruk-pikuk kota.
Saya selalu menikmati perjalanan. Saya senang melihat gunung, sawah, ladang, parit, petani yang menanam padi, atau kerbau yang mandi di sungai.
Itulah kemewahan saya, perjalanan sejauh 45 kilometer dari kampung ke ibu kota provinsi. Hanya itu dan itu pun saya sudah sangat bersyukur. Sampai kemudian saya lulus kuliah dan mendapat pekerjaan sebagai jurnalis di Jakarta, profesi yang mengantarkan ke Eropa.
Saya tak tahu bagaimana awalnya, yang jelas redaktur meminta saya untuk membuat paspor karena ada undangan untuk berkunjung ke Jerman selama dua pekan. Setelah selesai saya kemudian memasukkan permohonan visa ke kantor kedutaan Jerman di kawasan bundaran Hotel Indonesia.
Saya tidak terbang sendirian. Ada beberapa rekan dari media lain yang juga menerima undangan untuk mengunjungi beberapa kota di Jerman. Setelah transit sejenak di Paris, saya dan beberapa rekan akhirnya tiba di Muenchen pada suatu pagi di bulan Desember. Saya tak tahu berapa derajat Celcius pada pagi itu. Yang pasti salju lebat turun dan tiga lembar pakaian yang saya pakai tak bisa melindungi badan dari sergapan udara dingin yang terasa hingga ke tulang.
Pihak mengundang menyiapkan minibus yang membawa saya dan rombongan ke satu hotel di pusat kota. Setelah check in, saya masuk ke kamar di lantai empat. Kamarnya tak begitu luas, tapi terasa sangat nyaman. Tempat tidur dengan sprei putih bersih, meja kecil dari kayu berwarna cokelat tua, lampu yang temaram, penghangat ruangan, dan jendela yang menghadap ke taman.
Saya menuju jendela dan memuaskan pandangan yang ada di depan mata: taman yang memutih tertimpa salju, jalan-jalan yang rapi, orang-orang yang berlalu-lalang dengan pakaian tebal, dan gedung-gedung tua yang terawat rapi. Harus diakui, Eropa di alam nyata jauh indah dari foto yang tercetak di kalender.
Selamat datang di Eropa. Selama dua pekan berikutnya, saya diajak berkeliling Jerman dengan mengunjungi aneka tempat, dari desa kecil di kaki bukit hingga kota-kota metropolis seperti Berlin dan Frankfurt.
Dua pekan berlangsung cepat dan saya beserta rombongan harus kembali ke Jakarta. Saya kembali ke rutinitas sebagai pekerja media. Saya tak lagi memikirkan Eropa sampai datang satu surat dengan amplop besar yang diserahkan sekretaris redaksi pada suatu siang yang terik di bulan Oktober.
Isinya tawaran kontrak untuk bekerja di satu media internasional yang berpusat di London. Saya lipat kembali surat tersebut dan saya masukkan ke amplop. Melalui surat elektronik saya menghubungi media internasional tersebut untuk menjawab bahwa saya menerima tawaran.
Begitulah. Beberapa bulan kemudian saya kembali menjejakkan kaki di Eropa, kali ini di London pada hari Ahad di bulan Februari. Saya datang bukan sebagai tamu, kali ini sebagai pemukim.
London menjadi rumah kedua saya. Dari kota ini saya berkesempatan untuk berkunjung ke Paris, Nice, Marseille, Jenewa, Lisabon, Coimbra, Helsinki, Kopenhagen, Arhus, Amsterdam, Den Haag, Delft, Rotterdam, Nurenberg, Istanbul, dan kota-kota di Inggris seperti Oxford, Cambridge, Bristol, Gloucester, Warwick, Manchester, Liverpool, York, Colchester, dan Edinburgh.